KAPAN MENGGUNAKAN LEM POLIURETAN
Menurut Steven (2001), busa-busa polimer
dibuat dalam berbagai cara yang tergantung pada jenis polimer yang digunakan
dan aplikasinya. Untuk polimer – polimer seperti polistirena, bahan pengembang
(blowing agent). dipakai untuk menghasilkan busa. Poliuretan yang berbeda
sesuai produk sampingan karbondioksida merupakan bahan kunci dalam proses
pembusaan. Pada salah satu metode, prapolimer yang berujung isosianat dengan
berat molekul rendah dibusakan lewat penambahan air yang menimbulkan kenaikan
berat molekul lewat pembentukan gugus – gugus urea dengan melepaskan
karbondioksida secara simultan. Ketika gas yang berkembang tersebut menyebabkan
polimer membusa, reaksi polimerisasinya menaikkan viskositas dan membentuk busa
sebelum pecah.
Karena lem, yang mengering, sama sekali
tidak melunak di bawah pengaruh air, itu menarik bagi pengrajin rumah ketika
merakit furnitur untuk taman.
Lem polyurethane mengisi kekosongan dengan
sempurna, tetapi dari koneksi yang tidak pas ini tidak menjadi lebih kuat.
Sebelum menempel, pastikan permukaan yang saling kontak rata satu sama lain.
Busa-busa yang fleksibel biasanya
dipreparasi dari poliester atau polieter dihidroksi. Sedangkan busa yang kuat
dari prapolimer polihidroksi. Busa yang kuat kadang-kadang dipreparasi tanpa
air dengan mereaksikan prapolimer berujung hidroksil dengan diisosianat menggunakan
bahan pengembang (blowing agent).
Foam atau busa didefinisikan sebagai
substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau
padatan. Seringkali orang menyebutnya dengan poliuretan foam, rubber foam,
styrofoam atau bentuk foam lainnya yang sering digunakan. Sejak 20 tahun yang
lalu, jenis foam padatan mulai digunakan. Rendahnya densitas pada foam tersebut
yang menjadikannya sebagai insulator dan alat flotasi yang baik. Bentuknya yang
padat dan terang membuatnya ideal sebagai pack dan bahan pengisi. Beberapa foam
cairan hanya dapat ditemukan pada pemadam api, khususnya api yang disebabkan
oleh minyak (Tuduri, 2006). Menurut Cowd (1991), busa poliuretan dapat dibentuk
bila secara serentak dibuat polimer poliuretan dan suatu gas. Jika proses ini
seimbang, gelembung gas terjebak dalam kisi-kisi polimer yang terbentuk,
sehingga terbentuk busa. Busa yang kenyal dan busa yang kaku juga dapat
dibentuk. Busa yang sedikit bersambung-silang bersifat kenyal, sedangkan busa
yang banyak bersambung-silang bersifat kaku. Dalam pembentukan busa kenyal, dua
reaksi terjadi serentak.
Diisosianat + poliol => poliuretan
Diisosianat + air => karbondioksida
Reaksi kedua menghasilkan gas
karbondioksida sebagai zat pengembang. Busa kenyal dapat berbahan dasar
poliester atau polieter. Poliol adalah poliester bermassa molekul nisbi rendah
atau polieter yang mengandung gugus hidroksil pada ujungnya. Karbondioksida
dapat juga digunakan untuk membuat busa kaku, tetapi biasanya digunakan alkana
berhalogen yang bertitik didih rendah seperti CFC. Cairan ini tidak terlibat
dalam reaksi kimia, tetapi mudah menguap oleh bahang polimerisasi, dan kemudian
mengembangkan busa. Poliuretan foam biasanya dibuat dengan menambahkan sedikit
bahanbahan volatil yang dinamakan sebagai bahan pengembang (blowing agent)
untuk mereaksikan campuran. Aseton, metilen klorida dan beberapa
kloroflourokarbon (CFCl3) sering digunakan sebagai bahan pengembang (blowing
agent) pada pembuatan poliuretan (Klempner, 2001).
Terdapat dua sistem yang dapat digunakan
untuk membentuk poliuretan
yaitu :
a. Sistem one-step (one-shot process)
adalah semua bahan baku untuk menghasilkan polimer dicampur bersama-sama.
b. Sistem two-step (prepolymer process),
komponen poliol direaksikan dengan poliisosianat untuk membentuk prepolimer
dengan gugus akhir isosianat, proses ini yang disebut prepolimer, dan masih
terdapat isosianat yang berlebih. Campuran prepolimer direaksikan dengan diol
atau diamine sebagai pemanjang rantai (chain extender).
Pemilihan sistem untuk pembentukan
poliuretan, didasarkan kepada properti polimer yang diinginkan. Sistem two-step
dapat menghasilkan struktur yang lebih
beraturan daripada sistem one-step, karena pada sistem two-step terbentuk
oligomer dimana gugus poliol ditutup dengan diisosianat. Oligomeroligomer yang
terbentuk kemudian saling dihubungkan dengan menggunakan pemanjang rantai
(chain extender). Dengan demikian rantai polimer akan memiliki susunan
keras-lunak-keras (hard-soft-hard) yang lebih teratur dibandingkan dengan
distribusi segmen keras (hard segment) yang acak pada sistem one-step. Sistem
one-step umumnya digunakan dalam pembentukan foam poliuretan, sedangkan sistem
two-step diaplikasikan pada produksi elastomer (Feng,1998).
Beberapa bahan tambahan lainnya yang
dibutuhkan untuk membentuk
foam poliuretan,diantaranya:
1. Bahan pengembang (blowing agent)
Menurut Steven (2001), bahan pengembang
(blowing agent) terbagi
menjadi dua. (1) Blowing agent fisika :
gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam
polimernya. (2) Blowing agent kimia yang terurai oleh pemanasan untuk
melepaskan gas, contohnya cairan bertitik didih rendah seperti metilen klorida,
aseton, dan CFCl3.
2. Katalis
Katalis poliuretan diklasifikasikan menjadi
dua katagori yaitu senyawa
amina dan kompleks organologam.
a. Tertier amina, fungsinya untuk
mempercepat reaksi isosianat-air dan reaksi isosianat-poliol. Contoh
trietilamin, trietilen diamine, dll
b. Organologam, sebagai katalis yang kuat
untuk reaksi isosianat-poliol.
Contoh : stannous oleate, dan stannous
octoate.
3. Surfaktan
Digunakan sebagai foam stabilizer untuk
menstabilkan struktur gelembung-gelembung (bubbles) yang terbentuk dengan
menjadikan sedikit viskos sampai kekakuan (rigidity) sel mengatur struktur
foam.
Fungsi surfaktan, diantaranya:
– Untuk menurunkan tegangan permukaan
antara liquid-liquid atau liquid-solid
– Mencampur komponen-komponen yang saling
tak larut
– Memperbaiki penampilan struktur sel
– Untuk stabilisasi ekspansi foam saat
mengembang
– Pengontrol ukuran sel
– Menghasilkan tipe struktur sel yang
diinginkan seperti sel terbuka
(open cell) atau sel tertutup (closed
cell).
Jenis surfaktan yang biasa dipakai adalah
tipe silikon glikol. Dengan variasi tipe dan banyaknya material yang digunakan,
maka dapat mempengaruhi properti seperti densiti, kandungan dari sel terbuka
atau sel tertutup.
4. Pemanjang rantai (chain extender)
Pemanjang rantai berperan penting dalam
mengatur morphologi poliuretan fiber, integral skin mikroseluler foam. Contoh
pemanjang rantai yang dipakai yaitu etilen glikol, 1,4-butanadiol,
1,6-heksanadiol, sikloheksan dimetanol. Chain extender adalah senyawa-senyawa
yang memiliki dua gugus fungsi dengan berat molekul rendah, seperti glikol dan
diamin. Sedangkan struktur molekul yang biasa digunakan sebagai chain extender
adalah jenis aromatik dan alifatik. Secara umum, chain extender yang berupa
diol atau diamin alifatik akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada
chain extender aromatik. Chain extender berfungsi untuk memperpanjang struktur
rantai linier dari polimer melalui ikatan antar gugus isosianat (-NCO) dengan
gugus hidroksil atau amin dari chain extender membentuk segmen keras (hard
segment) atau segmen lunak (softsegment). Dengan memodifikasi rasio berat chain
extender / poliol, sifat poliuretan yang dihasilkan dapat bervariasi dari
keras, getas, menyerupai karet, hingga lembut dan lunak.
Pengunaan poliuretan akan terus meningkat
mengingat keunggulan sifat dan pemakaiannya cukup praktis (Eli Rohaeti, Surdia,
Cynthia L Radiman, dan Ratnaningsih, 2002: 330). Pengunaan poliuretan di
Indonesia sebagai bahan pendukung industri masih sangat tergantung pada impor, walaupun beberapa
industri sudah mulai mencoba memproduksi poliuretan di dalam negeri. Banyaknya
pabrik kertas, furnitur, industri otomotif dan industri alas kaki di Indonesia
membuat prospek usaha di bidang poliuretan di masa depan cukup menjanjikan.
Masalah yang timbul kemudian akibat peningkatan pengunaan poliuretan adalah
makin bertumpuknya limbah poliuretan. Hal ini apabila tidak segera
ditanggulangi akan membahayakan kelestarian lingkungan hidup. Cara
penanggulangan yang dianggap paling bersahabat dengan lingkungan dan tidak
menimbulkan masalah baru adalah dengan proses biodegradasi, yakni perusakan
poliuretan dengan cara biologis atau mengunakan mikroorganisme tertentu sebagai
pengurainya. Sumber mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari lumpur aktif IPAL Bantul, Yogyakarta. Pada penelitian ini proses
biodegradasi dilakukan selama 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 hari dengan temperatur 4
inkubasi 37 0C dalam media malka padat. Selama proses biodegradasi, setiap 5
hari sekali dilakukan penggantian media dengan harapan agar mikroorganisme
dalam lumpur aktif akan mendapatkan kembali keadaan yang kaya nutrisi dan dapat
meningkatkan kembali aktivitasnya, sehingga diharapkan semakin banyak
bagian rantai polimer yang akan
terdegradasi. Keberhasilan proses biodegradasi poliuretan hasil sintesis oleh
mikroorganisme dalam lumpur aktif dapat diketahui dengan membandingkan karakter
poliuretan hasil sintesis sebelum dan sesudah dibiodegradasi, yang meliputi
analisis gugus fungsi dengan FTIR dan penentuan derajat kristalinitasnya dengan
XRD, menentukan persen kehilangan massa dan dengan menentukan
biodegradabilitasnya. Mikroorganisme menguraikan polimer dengan mengkatalisis
berbagai reaksi hidrolisis dan oksidasi. Adanya gugus fungsional sensitif
cahaya dan gugus fungsional yang dapat terhidrolisis akan lebih efektif untuk
terurainya polimer-polimer massa molekul tinggi dalam lingkungan alam. Semakin
rendah massa molekul polimer, maka polimer akan terdegradasi semakin cepat
(Stevens, 2001 :146).
Jika ada pertanyaan lebih lanjut mengenai
lem dan adhesive, silakan kontak saya ke nomor whatsapp 081513515678 (Ridho
Muhtadi) atau hubungi PT Gilang Lemindo Sejahtera. PT Gilang Lemindo Sejahtera
adalah perusahaan spesialis di bidang adhesive dsn coating, hasil karya anak
Indonesia. Anda bisa mengirimkan sampel produk ke sana untuk diteliti lebih
lanjut. Silakan kunjungi www.gilanglemindobandung.com